Begitulah, Nabi SAW mengajarkan filosofi jabatan sebagai amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan dan penuh penyesalan. Jabatan bukanlah hak, kebanggaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika filosofi ini dipegang kuat-kuat dan dilaksanakan dengan baik oleh pemegang amanah, maka dia akan selamat. Jauh sebelum menerima amanah, dia pun akan mengukur dirinya, layakkah dia? Jika dia merasa tidak layak, atau ada yang lain yang lebih layak, dia pun tidak akan menerimanya. Karena dia tahu itu bukanlah kebanggaan dan kemuliaan.
‘Umar bin al-Khatthab pun murka, saat sebagian sahabat memintanya untuk mencalonkan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar sebagai khalifah penggantinya. “Celakalah kamu! Tidak ada dari keluargaku yang ingin aku libatkan… Cukuplah dari keluarga ‘Umar satu orang yang dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan umat Muhammad SAW. Saya sudah banting tulang dan meninggalkan keluargaku, kalau selamat dengan hidup ala kadarnya, tanpa beban dan imbalan pun rasanya sudah bahagia.” [Ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, II/219-220].
Begitulah, jika seorang pemimpin memahami filosofi kekuasaannya bukan sebagai kehormatan, tetapi kehinaan. Karena itu, dia tidak akan pernah lalai sedikit pun terhadap urusan rakyatnya. Ketika ‘Umar bin al-Khatthab mendengar ‘Utsman bin al-‘Ash telah membawa rombongan orang mengarungi lautan, maka beliau berkomentar, “Dia membawa mereka, sementara antara mereka dengan laut itu hanya ada papan? Demi Allah, kalau sampai mereka celaka, aku akan tuntut diat mereka dari Tsaqif.” Bagi ‘Umar, tindakan ‘Utsman ini bentuk kelalaian, karena membawa rombongan naik perahu [kapal] yang tidak layak jalan.
Jangankan nyawa muslim, yang oleh Nabi SAW disebut lebih berharga ketimbang hancurnya Ka’bah, bahkan terhadap hewan yang terperosok, ‘Umar pun takut kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Dari Salim bin ‘Abdillah, bahwa ‘Umar pernah memasukkan tangannya ke dubur unta, untuk memeriksanya, seraya berkata, “Aku sungguh sangat takut kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang menimpamu?” [as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hal. 110]
Ketika filosofi jabatan itu tak lagi menjadi amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan dan penyesalan, justru jabatan telah dijadikan keuntungan, kehormatan dan segudang kemewahan, yang terjadi adalah seperti saat ini. Orang bodoh nan lemah yang tak layak menjabat berebut jabatan. Negara dan rakyat pun menjadi korban. Darah tumpah di mana-mana. Kekayaan dijarah tak tersisa. [hti]