Ketika Kekuasaan Bukan Kebanggaan

Saat Abu Dzar radhiya-Llahu ‘anhu meminta jabatan kepada Nabi SAW, dengan penuh kasih sayang baginda SAW mengingatkan, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah. Sedangkan jabatan itu amanah. Jabatan itu kelak pada Hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan sebenar-benarnya, serta ditunaikan dengan sebaik-baiknya.” [HR Muslim]

Begitulah, Nabi SAW mengajarkan filosofi jabatan sebagai amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan dan penuh penyesalan. Jabatan bukanlah hak, kebanggaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika filosofi ini dipegang kuat-kuat dan dilaksanakan dengan baik oleh pemegang amanah, maka dia akan selamat. Jauh sebelum menerima amanah, dia pun akan mengukur dirinya, layakkah dia? Jika dia merasa tidak layak, atau ada yang lain yang lebih layak, dia pun tidak akan menerimanya. Karena dia tahu itu bukanlah kebanggaan dan kemuliaan.

‘Umar bin al-Khatthab pun murka, saat sebagian sahabat memintanya untuk mencalonkan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar sebagai khalifah penggantinya. “Celakalah kamu! Tidak ada dari keluargaku yang ingin aku libatkan… Cukuplah dari keluarga ‘Umar satu orang yang dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan umat Muhammad SAW. Saya sudah banting tulang dan meninggalkan keluargaku, kalau selamat dengan hidup ala kadarnya, tanpa beban dan imbalan pun rasanya sudah bahagia.” [Ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, II/219-220].