Perjalanan hidup yang terus berguncang-guncang, cita-cita yang nyaris
jauh dari keberhasilan, banyaknya masalah yang saya alami setiap kali
bulan puasa datang, membuat ada rasa trauma setiap kali Ramadhan hadir
di tengah-tengah saya. Sehingga saya menyikapi Ramadhan sebagai sebuah
bulan yang tidak menyenangkan bagi saya. Sebab kala itu, ada saja
kesusahan yang datang menyapa.
Saya pernah sangat iri dengan teman atau banyak orang di lingkungan
saya yang begitu gembira setiap kali Ramadhan datang. Saya tak tahu, apa
yang mendasari mereka, sehingga bisa bersikap dan bertindak seperti
itu.
Setiap Ramadhan hadir menyapa kita, telinga saya selalu digelitik oleh para Da’i baik lewat ceramah ataupun lewat buletin-buletin dakwah. Bahwa sebagai seorang muslim yang mu’min, tentu akan sangat gembira dengan datangnya bulan agung ini.
Saya bertanya kepada diri sendiri, kegembiraan yang seperti apa ya? Kenapa aku justru sangat gelisah setiap kali memasuki Ramadhan? Saya mencoba menyiasati kalimat yang berdasarkan sabda Rasul itu.
Lewat pengalaman hidup yang begitu panjang, saya bisa mendapat pencerahan dari hal-hal yang berkaitan dengan bulan agung itu. Ternyata selama bertahun-tahun, saya memandang kehadiran Ramadhan seperti layaknya bulan-bulan yang lain. Artinya biasa-biasa saja. Saya ternyata tak begitu serius menyambut Ramadhan dengan sepenuh hati dan jiwa dengan napas ruhani yang kental.
Berkat sering berdekatan dengan teman-teman saya yang paham dengan Islam, saya agak sedikit paham dengan kehadiran bulan suci itu. “Sudah selayaknya kita bergembira denga datangnya bulan berkah ini. Bahkan jika tidak gembira, maka status ke-Islam-an kita perlu dipertanyakan.”
Begitulah isi sebuah bulletin dakwah yang saya temukan di dekat sebuah masjid kampus. Beberapa waktu kemudian, seorang teman menyodorkan kepada saya sebuah kertas yang bertuliskan nasehat Rasulullah SAW menjelang Ramadhan, yang diriwayatkan Ibnu Huzaimah.
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah yang membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.
Inilah bulan ketika kamu di undang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan puasa dan membaca kitab-Nya.”
Dari sepenggal hadits itu saja, memang sudah selayaknya kita amat gembira dengan datangnya Ramadhan. Sebab betapa banyaknya kemuliaan yang dihamparkan oleh Allah. Jika kita menghitung pahala dari-Nya secara matematis, maka tak ada mesin hitung hasil teknologi manusia manapun yang sanggup menghitungnya.
Jadi mau apalagi yang kita cari di dunia ini? Maka di Ramadhan tahun inipun, saya juga mencoba untuk terus gembira, sebab saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk ikut mengais kemuliaan di bulan agung ini.
Tentu bukan kegembiraan khas anak kecil yang bersorak-sore, karena makan kolak dan main kembang api setiap kali bedug berbuka puasa berbunyi, tapi kegembiraan dalam koridor syari’at yang diimbangi dengan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT. Karena dengan rasa itu semua, kita akan dijauhkan dari api neraka. Pendek kata, kita akan mendapat ampunan dari-Nya. Bukankah Rasulullah telah bersabda begitu?
***
Purwokerto, <woyo_sus@yahoo.co.id>
Setiap Ramadhan hadir menyapa kita, telinga saya selalu digelitik oleh para Da’i baik lewat ceramah ataupun lewat buletin-buletin dakwah. Bahwa sebagai seorang muslim yang mu’min, tentu akan sangat gembira dengan datangnya bulan agung ini.
Saya bertanya kepada diri sendiri, kegembiraan yang seperti apa ya? Kenapa aku justru sangat gelisah setiap kali memasuki Ramadhan? Saya mencoba menyiasati kalimat yang berdasarkan sabda Rasul itu.
Lewat pengalaman hidup yang begitu panjang, saya bisa mendapat pencerahan dari hal-hal yang berkaitan dengan bulan agung itu. Ternyata selama bertahun-tahun, saya memandang kehadiran Ramadhan seperti layaknya bulan-bulan yang lain. Artinya biasa-biasa saja. Saya ternyata tak begitu serius menyambut Ramadhan dengan sepenuh hati dan jiwa dengan napas ruhani yang kental.
Berkat sering berdekatan dengan teman-teman saya yang paham dengan Islam, saya agak sedikit paham dengan kehadiran bulan suci itu. “Sudah selayaknya kita bergembira denga datangnya bulan berkah ini. Bahkan jika tidak gembira, maka status ke-Islam-an kita perlu dipertanyakan.”
Begitulah isi sebuah bulletin dakwah yang saya temukan di dekat sebuah masjid kampus. Beberapa waktu kemudian, seorang teman menyodorkan kepada saya sebuah kertas yang bertuliskan nasehat Rasulullah SAW menjelang Ramadhan, yang diriwayatkan Ibnu Huzaimah.
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah yang membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.
Inilah bulan ketika kamu di undang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan puasa dan membaca kitab-Nya.”
Dari sepenggal hadits itu saja, memang sudah selayaknya kita amat gembira dengan datangnya Ramadhan. Sebab betapa banyaknya kemuliaan yang dihamparkan oleh Allah. Jika kita menghitung pahala dari-Nya secara matematis, maka tak ada mesin hitung hasil teknologi manusia manapun yang sanggup menghitungnya.
Jadi mau apalagi yang kita cari di dunia ini? Maka di Ramadhan tahun inipun, saya juga mencoba untuk terus gembira, sebab saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk ikut mengais kemuliaan di bulan agung ini.
Tentu bukan kegembiraan khas anak kecil yang bersorak-sore, karena makan kolak dan main kembang api setiap kali bedug berbuka puasa berbunyi, tapi kegembiraan dalam koridor syari’at yang diimbangi dengan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT. Karena dengan rasa itu semua, kita akan dijauhkan dari api neraka. Pendek kata, kita akan mendapat ampunan dari-Nya. Bukankah Rasulullah telah bersabda begitu?
***
Purwokerto, <woyo_sus@yahoo.co.id>